Puputan adalah tradisi perang masyarakat
Bali. Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Adapun yang dimaksud dengan kata
puputan versi pribumi bali adalah perang sampai nyawa lepas atau tanggal dari
badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang sampai game over atau
titik darahterakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi pertempuran hebat
yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.
Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang
meletus di Bali. Namun, yang terkenal dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua
puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan
imprealis Belanda. Strategi puputan yang diterapkan ketika itu adalah sistem tawan
karang dengan menyita transportasi laut imprealis Belanda yang bersandar ke
pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana yang berpusat di Desa Adeng,
Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini adalah Letnan Kolonel I Gusti
Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung,
Bali, 30 Januari 1917.
Puputan Margarana dianggap banyak pihak
sebagai perang sengit yang pernah bergulir di Pulau Dewata, Bali. Terdahap
beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya Puputan Margarana. Namun, jika
kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka dapat ditarik sebuah benang
merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang lahir pasca Perjanjian
Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945, antara Belanda dan
pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati rakyat Bali
terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian dari
daerah teritorial Indonesia.
Linggar jadi sangat menguntungkan Belanda.
Melalui Linggarjati Belanda hanya mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai
wilayah teritorial Indonesia secara de facto, sementara tidak untuk
pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali sebagai Negara
Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk menacapkan kuku
imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal banyak mendarat
di pelabuah lepas pantai Baling. Ini juga barangkali yang menyebabkan
meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.
Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri
sedikit tidak stabil, goyah Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati
merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena berhak menjadi bagian dari kesatuan RI.
I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa
Tenggara ‘digoda’ oleh Belanda. Sejumlah tawaran menggiurkan disodorkan untuk
meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara Indonesia Timur. Gusti
Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih Indonesia sebagai Tanah
Airnya.
Alur Puputan Margarana bermula dari perintah
I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi
Nica yang menduduki Kota Tabanan. Perintah yang keluar sekitar pertengahan
November 1946, baru berhasil mulus dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan
senjata lengkap dengan alterinya berhasil direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan
khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan penuh bangga ke Desa Adeng-Marga.
Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18 November 1946 telah membakar
kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan sejumlah informasi guna mendeteksi
peristiwa misterius malam itu. Tidak lama, Belanda pun menyusun strategi
penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua kalinya, pagi-pagi buta dua
hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai mengisolasi Desa
Adeng, Marga.
Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah
mengadakan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain
penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah mana aktivitas Belanda. Tidak
berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar pukul 09.00-10.00 WIT),
pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka sudah diawasi dan
dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup mengkhawatirkan
ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di sekitar perkebunan
di daerah perbukitan Gunung Agung.
Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan
bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I Gusti Ngurah Rai saat itu memang
sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda mengobarkan api perlawanan. Aksi
tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang tenang seketika berubah menjadi
pertempuran yang menggemparkan sekaligus mendebarkan. Ciung Wanara saat ini
memang cukup terkejut, sebab tidak mengira akan terjadi pertempuran hebat
semacam itu.
Letupan senjata terdengar di segala sisi
daerah marga. Pasukan Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda,
yang merasa sangatmerasa terhina dengan peristiwa malam itu sangat ambisius dan
brutal mengemur Desa Marga dari berbagai arah. Serangan hebat pagi itu tak
kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah Rai Menyerah. Serangan balik dan
terarah membuah Belanda kewalahan.
Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun
tewas dengan tragis. Strategi perang yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu
tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat juang begitu terasa. Pantang
menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi prinsip mendarah daging di
tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun jagung dan palawija berubah
menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat itulah Gusti Ngurah Rai
menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga nyawa melayang.
Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda
terpaksa meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu. Belanda
juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk membom-bardir kota Marga. Kawasan
marga yang permai berganti kepulan asap, dan bau darah terbakar akibat seranga
udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir dengan gugurnya Gusti Ngurah
Rai dan semua pasukannya.
Puputan Margarana menyebabkan sekitar 96
gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda, lebih kurang sekitar
400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga maka didirikan
sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November 1946 juga
dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah satu
perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.
Propinsi Pulau Sumbawa
adalah Keniscayaan Kesadaran Sejarah
Sistem pemerintahan
di Pulau Sumbawa berakar jauh kedalam sejarah. Tiga kabupaten lama sebelum
lahirnya Kabupaten sumbawa Barat berasal dari Daerah Kerajaan yang sudah
berabad-abad telah mengenal sistem pemerintahan yang dijalankan secara mandiri,
tertib dan demokratis.
Sejarah asal dari
masing-masing kerajaan tersebut tercatat dan tersimpan dalam catatan-catatan
peninggalan sejarah. Dari berbagai buku, kita mengetahui bahwa nama-nama
Sumbawa, Dompu dan Bima tercantum di dalam Negara Kertagama yang ditulis pada
tahun 1365 M. Ini berarti bahwa pada tahun 1365 Masehi bahkan mungkin sebelum itu
di Pulau Sumbawa sudah ada bentuk pemerintahan dan kegiatan interaksi antar
pulau. Tidaklah mengherankan apabila dalam catatan perjalanan seorang portugis
bernama Tome Fires di Tahun 1513 disebutkan Pelabuhan Sumbawa dan Bima sebagai
pelabuhan persinggahan kapal-kapal yang berlayar ke Timur dan membeli hasil
bumi; beras, tekstil dan lain-lain.
Raja kerajaan Bima
pada saat itu dibawah Raja Manggampo Donggo, Raja Bima ke-14 dan diperkirakan
di Sumbawa adalah masa kerajaan Dewa Awan Kuning di Utan sedangkan di Dompu di
bawah Raja yang punya kuda bernama “La Tonda Riru”.
Akhir abad 16 disebut
sebagai masa menjelang kedatangan Islam di Pulau Sumbawa. Islam masuk ke Pulau
Sumbawa dari Makassar. Kerajaan Goa-Tallo di bawah pimpinan Raja Tu
Ammenang-ri-gaukanna mengirim dua orang pendekar yang telah membawa islam di
Makassar setelah dari Ternate (tahun 1600) yang bernama Datuk ri Banda dan
Datuk ri Tiro; kedatangan kedua pendekar ini pada tahun 1018 H atau tahun
Masehi 1609 dan tercatat didalam Bo Kerajaan Bima menjadi awal Kerajaan Bima
menjadi kerajaan Islam (kesultanan) di bawah Pimpinan Sultan Abdul
Kahir, Sultan Islam yang pertama yang memerintah tahun 1611-1640. sedangkan di
Sumbawapun terjadi hal yang sama di masa pemerintahan Dewa Maja Paruma.
Kedatangan VOC
pertama kali di Timur Indonesia tahun 1667 menimbulkan perlawanan sengit dari
rakyat Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Pertempuran yang akhirnya
mengalahkan pihak Makassar ini mengakibatkan suatu perjanjian yang berakibat
jauh bagi Kerajaan Makassar maupun Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa dan
terkenal dengan nama Perjanjian Bongaya. Antara Admiral Speelman
dibuat perjanjian tersendiri dengan raja-raja di pulau Sumbawa. Inilah awal
dari perjanjian-perjanjian yang kemudian disebut Kontrak Politik Panjang atau Lange
Politiek Contract.
Kontrak pertama ini
ditandatangani oleh Raja Bima dan Dompu diwakili Jeneli-jeneli masing-masing
memuat pasal-pasal di antaranya perdangangan kayu sapan dan saling tolong
menolong di laut dan lain-lain, tetapi belum menyangkut soal pemerintahan.
Kontrak-kontrak berikutnya dibuat tahun 1857 dengan Bima dan Tahun 1858 dengan
Sumbawa dan seterusnya dengan Sultan-sultan berikutnya sampai menjelang Perang
Dunia II pada tahun 1938 dibuat kontrak-kontrak Politik dengan 15 Daerah
Swapraja diseluruh Indonesia yang berstatus Swapraja atau Zelf Bestuur,
Kontrak dengan Bima dan Sumbawa dibuat pada tanggal 13 Desember 1938.
Dari
sejarah tersebut di atas dapat terlihat betapa kuatnya kedudukan pemerintahan
di daerah pulau Sumbawa ditinjau dari segi struktur dan penyelenggaraannya
termasuk dalam struktur politik pemerintah Belanda dan lain-lain, meskipun
beberapa kewenangan tetap dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda, seperti
hubungan diplomasi dengan Luar Negeri dan wewenang di laut, namun Pemerintah
Swapraja tetap diberi kewenangan berpemerintahan sendiri atas dasar Hukum Adat
sebagai mana dilakukan sejak berabad abad sebelumnya.
Oleh
karena itu pemerintah Hindia Belanda menetapkan 2 ( dua ) kategori daerah di
Indonesia.
1. Daerah
yang sebelum adanya Pemerintah Belanda di Indonesia sudah mempunyai susunan
masyarakat yang berpemerintahan sendiri atas dasar Hukum Adat disebut Inheernse
Zelfregerende Gebiedsdelen atau Wilayah Pribumi yang berpemerintahan
sendiri.
2. Daerah
yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Daerah – daerah ini disebut Gedecentraliseerde
Zelfregerende Gebiendsdeien atau daerah desentralisasi yang berpemerintahan
sendiri.
Ketiga
Swapraja (Kabupaten) di Pulau Sumbawa tergolong dalam kategori pertama dengan
status sebagai Daerah yang tidak langsung diperintah oleh Belanda yang disebut
dengan: Indirect Bestuursgebeid. Sedangkan tiga daerah di Pulau Lombok
masuk dalam kategori kedua yang disebut Direct Bertuursgebied
atau Daerah yang langsung diperintah oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Status Swapraja
bertahan sampai dihapus oleh UU No. I Tahun 1957 sedangkan kerajaan-kerajaan
kecil Tambora dan Papekat sudah tidak ada sejak meletusnya Gunung Tambora pada
tahun 1814, dan Kerajaan Bima pada tahun 1929 sebagai ganti Wilayah Manggarai
di pulau Flores (yang asalnya adalah daerah taklukan oleh Kerajaan Bima ) yang
digabung dengan daerah-daerah lain di pulau Flores.
Masa pemerintahan
sebelum tanggal 17 Desember 1958, merupakan masa pra-pertumbuhan Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB), dikatakan pra pertumbuhan, karena dalam masa tersebut
timbul keinginan dari seluruh masyarakat di Nusa Tenggara Barat yang sebelumnya
bernama Sunda Kecil / De Kleine Sunda Eilanden yang pada saat itu
berpemerintahan otonom tingkat Provinsi Admisnistratif agar berpemerintahan
otonom tingkat provinsi maupun tingkat Kabupaten. Keinginan rakyat di NTB pada
waktu itu yang berbeda hanyalah mengenai luas wilayah yang diinginkan agar
dibentuk menjadi daerah otonom tingkat provinsi. Ada keinginan supaya bekas
wilayah provinsi Nusa Tenggara dahulu dibentuk menjadi dua, tiga atau enam
Daerah Otonom tingkat Provinsi. Akan tetapi kesemuanya menginginkan
berpemerintahan otonom yang demokratis.
Provinsi Nusa Tenggara
yang sebelum tahun 1951 bernama Sunda Kecil, termasuk dalam bekas wilayah
Negara yang tersebut terakhir. Menurut Undang-undang pembentukannya yaitu
Lembaran Negara Hindia Belanda ( Stb. 143 Tahun 1946), Pulau Bali, Lombok,
Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor dan kepulauannya masing-masing dibentuk
menjadi ”Daerah” yang sebelum berlakunya Undang-undang NIT No. 44 Tahun 1950
memperoleh penyerahan kekuasaan/urusan-urusan dari swapraja-swapraja yang
diliputi oleh daerah yang bersangkutan, pemerintahannya terdiri dari Kepala
Daerah dan Dewan Raja-raja.
Perjanjian penyerahan
kekuasaan/urusan-urusan dari swapraja-swapraja kepada daerah yang
ditandatangani oleh Dewan Raja-raja tersebut yang kemudian lebih dikenal dengan
nama Daerah Statuta, merupakan dasar hukum dari pada otonomi Daerah yang
kemudian dicantumkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah.
Berturut-turut Daerah
Statuta dengan sebutan namanya yang berbeda-beda adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang
Pembentukan Gabungan Kerajaan-kerajaan Bali yang ditetapkan oleh Dewan
Raja-raja Bali pada tanggal 17 februari 1947 dan diumumkan tanggal 15 Agustus
1947.
2. Undang-undang
pembentukan Daerah Flores, ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Flores pada tanggal
27 Februari 1947 dan diumumkan tanggal 1 April 1947
3. Undang-undang
Federasi Pulau Sumbawa ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Sumbawa pada tanggal 23
Agustus 1948
4. Peraturan
Dasar Federasi Sumbawa, ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Sumba pada tanggal 6
September 1949
5. Peraturan
Daerah Timor dan Kepulauannya pada tanggal 29 April 1949
6. Peraturan pembentukan
daerah Lombok, Keputusan Presiden Indonesia Timur tanggal 9 Mei 1949 No.
5/Prv/49. ( Lombok tidak terdiri dari Swapraja-swapraja, tetapi merupakan suatu
daerah langsung diperintah oleh Hindia Belanda dan pada Tahun 1946 (Stb. 1946) dibentuk
menjadi Neo Swapraja atau daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan otonomi
berdasarkan Zelf Bestuurs Regelen (ZBR) tahun 1938 )
Kemudian dengan berlakunya Undang-undang NIT
No. 44 Tahun 1950 ( Stb. No.44 Tahun 1950 ) yang ditetapkan pada tahun 1949,
maka otomatis daerah tersebut di atas menjadi daerah menurut Undang-undang NIT
No. 44 Tahun 1950
Menurut Undang-undang NIR No. 44 Tahun 1950
Negara Indonesia Timur dibagi menjadi daerah-daerah besar dan kecil yang berhak
mengurus Rumah Tangganya sendiri dengan Tingkatan “Daerah Bagian” dan “Daerah
Anak Bagian”. Akan tetapi dua tingkatan yang disebut terakhir belum pernah
direalisir di Wilayah Nusa Tenggara Barat.
Menurut catatatn resmi
dari kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja, bahwa pembagian Sunda Kecil
sebenarnya akan dijadikan Daerah Swantantra Tingkat I (Propinsi) Bali,
Swatantra Tingkat I Lombok Swatantra Tingkat I Sumbawa dan begitu juga NTT.
Alasan mereka pada dasarnya sama dan sederhana, yaitu agar daerahnya pesat di
dalam pembangunan, karena menurut pengalaman pada waktyu itu daerah yang dekat
dengan Pusat/Ibukota Pemerintah lebih pesat dalam hal pembangunan daripada
daerah yang jauh dari Pusat / Ibukota Provinsi Pemerintahannya. Namun akhirnya
hanya terbagi menjadi tiga sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
Paparan sejarah tersebut
menunjukkan bahwa ada lapis sejarah yang dapat menjadi legal standing atas
keabsahan pendirian Propinsi Pulau Sumbawa. Di sisi lain sejarah tersebut juga
menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Sumbawa telah jauh mengenal sistem pemerintahan
dan memiliki pengalaman yang panjang dalam mengelola pemerintahan. Hal tersebut
dibuktikan pula dengan adanya pengakuan dari Belanda ketika kedatangan VOC yang
diserang tanpa henti oleh masyarakat Pulau Sumbawa yang melahirkan kontrak
politik antara Belanda dengan Raja-raja di Pulau Sumbawa yang disebut dengan kontract met Bima En Sumbawa. Kontrak
tersebut berisi tentang pengakuan Belanda atas kedaulatan Raja Sumbawa, Bima,
Dompu terhadap Wilayahnya sendiri, serta berhak menjalankan pemerintahan dan hukumnya
sendiri. Perjanjian/kontrak ini tetap berlaku dengan pembaharuan dan perubahan
sampai dengan terakhir diperbaharui pada tanggal 13 Desember tahun 1938.
Fakta sejarah tersebut
sesungguhnya sedang menampar seluruh masyarakat Pulau Sumbawa. Ingatan sejarah
ini sesungguhnya sedang bercerita bahwa memori 350 tahun nusantara dijajah oleh
Belanda tidak berlaku bagi masyarakat Pulau Sumbawa, karena akibat perlawanan
gigih kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa saat itu, maka kerajaan-kerajaan di
Pulau Sumbawa tetap diakui sebagai daerah yang memiliki kedaulatan atas wilayah
dan pemerintahannya oleh pemerintah Belanda.
Lahirnya ide pemekaran
Propinsi Pulau Sumbawa menjadi momentum untuk mengembalikan kesadaran
kemandirian masyarakat Pulau Sumbawa dalam mengelola dan mengatur
pemerintahannya sendiri. Fakta yang tidak mungkin bisa dipungkiri jika Pulau
Sumbawa masih menjadi bagian dari Propinsi NTB adalah sebuah keniscayaan di
mana kemandirian dan ke-diri-an masyarakat Sumbawa akan semakin terasingkan.
Hal tersebut dikarenakan oleh pertama: pada dasarnya nama NTB tidak bisa
menjadi spirit bagi baik masyarakat Lombok dan Sumbawa dalam menemukan
ke-diri-annya di balik nama NTB dalam membangun Propinsi. Nama NTB justeru
mengasingkan kesadaran masyarakat dari akar ke-diri-annya dalam perjalanan
sejarah. Berbeda dengan nama Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan
Propinsi lainnya, di mana masyarakatnya justeru menemukan identitas
ke-diri-annya di balik simbolisasi identitas wilayahnya. Karena nilai
personifikasi diri sebagai orang Jawa melekat dalam nama daerahnya yang juga
Jawa, spirit membangun dan bekerjapun menjadi sejalan dengan kebanggaan atas
daerah yang sedang dibangun. Berbeda dengan NTB, di mana baik suku Sasak, Mbojo
maupun Samawa justru kehilangan identitas ke-diri-annya di balik nama
wilayahnya, karena representasi diri tidak tercermin dalam simbolisasi
identitas wilayah, serta pada dasarnya diakui atau tidak, tidak ada satu
sukupun merasa menjadi orang NTB.
Kedua: Perbandingan luas wilayah Pulau Sumbawa adalah 75% dari
luas wilayah NTB, sedangkan jumlah penduduk NTB adalah 75% dari jumlah total
penduduk NTB. Sistem demokrasi yang diyakini hari ini telah menjadi perangkap
bagi masyarakat pulau Sumbawa untuk berkompetisi baik dalam bidang politik, birokrasi
maupun pembangunan. Hal tersebut terlihat jelas dari komposisi keterwakilan
masyarakat Pulau Sumbawa di DPR RI, DPD RI maupun di birokrasi pemerintahan di
Propinsi. Dan tentunya hal tersebut pula menjadi faktor yang membuat stagnannya
pembangunan di Pulau Sumbawa yang begitu timpang dibandingkan dengan
pembangunan di Pulau Lombok karena kurangnya keterwakilan masyarakat pulau
Sumbawa dalam proses pengambilan kebijakan.
Lahirnya Propinsi Pulau
Sumbawa sebagai titik balik peradaban bagi terbangunnya kembali kesadaran
masyarakat Pulau Sumbawa hari ini sudah berada di depan mata.
pertemuan-pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri serta Komisi II DPR RI yang
membidangi politik dalam negeri sudah intens dilakukan oleh Komite Pembentukan
Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S). Sikap resmi Komisi II DPR RI menanggapi
pemekaran adalah adalah jika sebuah daerah telah memenuhi ketentuan PP 78 tahun
2007 tentang Pemekaran Dan Penggabungan Wilayah maka tidak ada alasan bagi
pemerintah pusat maupun DPR RI untuk tidak memproses pemekaran wilayah
tersebut. Sedangkan Kemendagri sedang merivisi kembali grand design pemekaran
wilayah yang memuat tentang besaran probabilitas pemekeran wilayah di Indonesia
hingga tahun 2005, setelah sebelumnya draft grand design tersebut mendapat keritik
tajam dari komisi II DPR RI.
Waktu semakin
berkompromi bagi masyarakat Sumbawa untuk memberikan kesempatan memperlihatkan
keseriusan dan kegigihannya dalam menyatakan kesadaran sejarahnya dihadapan
ingatan pengetahuan massa, bahwa masyarakat pulau Sumbawa merupakan masyarakat
yang mandiri dalam mengelola pemerintahannya dan tidak pernah takluk dalam 100
kali pertempuran melawan Belanda. Akankah sejarah tersebut masih menjadi
ke-diri-an kita sebagai masyarakat Pulau Sumbawa? Jawabannya tergantung pada
sejauhmana waktu yang tersisa dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh pemerintah
Kabupaten Sumbawa, Bima, Dompu dan Sumbawa Barat dan Kodya Bima beserta seluruh
masyarakat Pulau Sumbawa dalam mensinergiskan serta mensistematiskan gerak dan
langkah menuju kelahiran kedua masyarakat Pulau Sumbawa dengan lahirnya
Propinsi Pulau Sumbawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar